MejaRedaksi, Jakarta – Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem Rifqinizamy Karsayuda memberi tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, atau biasa disebut presidential threshold 20 persen. Rifqi mengatakan partainya menghormati putusan tersebut.
“Kami menghormati, menghargai putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus presentasi presidensial threshold sebagaimana ketentuan perundang-undangan saat ini,” ujar Rifqi seperti dikutip dari keterangan tertulisnya pada Kamis, 2 Januari 2025.
Ia menuturkan, DPR bersama pemerintah akan menindaklanjuti putusan MK tersebut dalam pembentukan norma yang merujuk pada undang-undang terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.
Ketua Komisi II DPR RI ini menilai bahwa putusan MK tersebut menjadi babak baru dalam lanskap demokrasi konstitusional Indonesia. Sebab, MK membuka ruang bagi calon dari partai mana pun untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
“Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita di mana peluang untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka dikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujar Rifqi.
MK telah resmi menghapus ketentuan presidential threshold 20 persen. Hal tersebut berdasarkan pembacaan keputusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 pada hari ini, Kamis, 2 Januari 2025.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Suhartoyo mengatakan norma pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6109 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Serta tidak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerabel secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyengkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra.
Dia mengatakan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal. Salah satunya pasal 6A ayat 2 UUD NRI tahun 1945.
Sebelumnya, permohonan ini diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold.
Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama. Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan.
Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.
M Raihan Muzakki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.