Indonesia Menerapkan PPN Multitarif Sejak UUHPP Disahkan

Posted on

INFO NASIONAL – Indonesia secara resmi menerapkan multitarif pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sejak Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP) yang disahkan pada 2021. Sebelumnya, Indonesia sudah cukup lama menerapkan tarif tunggal.

“Dasar hukum penerapan PPN multitarif di Indonesia terdapat dalam UUHPP,” kata Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, kepada Tempo, belum lama ini. Menurut dia, UU ini memberikan landasan hukum untuk reformasi perpajakan, termasuk penerapan PPN multitarif yang bertujuan untuk memenuhi asas keadilan dan gotong royong.

UU HPP menetapkan kenaikan tarif PPN secara bertahap menjadi 11 persen pada 2022 dan 12 persen paling lambat pada Januari 2025. Tarif ini juga dapat disesuaikan berdasarkan jenis barang dan jasa. “Barang dan jasa kebutuhan pokok, layanan pendidikan dasar, layanan kesehatan, serta transportasi umum tetap bebas PPN (tarif 0 persen),” kata Josua.

Sementara barang atau jasa premium seperti bahan makanan mewah (beras premium, daging wagyu, dsb.), layanan pendidikan internasional, dan layanan VIP dikenakan tarif PPN 12 persen. “Kebijakan ini mencerminkan asas keadilan di mana masyarakat mampu berkontribusi lebih besar, sedangkan masyarakat kurang mampu tetap terlindungi melalui subsidi dan insentif,” kata dia.

Barang-barang dengan kategori non-luxury, lanjut Josua, tetap dikenakan tarif standar 11 persen, sementara barang mewah dikenakan tarif lebih tinggi. “Ini diharapkan mampu meningkatkan kontribusi pajak tanpa membebani mayoritas masyarakat.”

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Dwi Astuti mengatakan, kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen. “Kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri,” kata dia melalui keterangan resmi, 21 Desember 2024.

Untuk ketiga jenis barang tersebut, lanjut dia, tambahan PPN sebesar 1 persen akan ditanggung oleh pemerintah (DTP). “Sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.”

Dwi pun memastikan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa. Dia mencontohkan, untuk minuman soda misalnya. Jika di tahun 2024 harga minuman Rp 7000; dengan PPN 11 persen Rp 770; maka yang dibayar adalah Rp 7.770; sementara dengan penerapan 12 persen di tahun 2025, harga PPN menjadi Rp 840;. “Yang dibayarkan menjadi 7.840; Jadi, kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen,” kata Dwi. (*)